“Aku dah gak diperhatikan lagi kok, anak-anak ninggal aku disini” (Anak-anak kemana?). Ya pada sibuk kerja semua, jarang kesini, kadang seminggu sekali, kadang gak datang sama sekali, kalau malam orang-orang pada tidur aku nyanyi-nyanyi gitu, biar seneng hati ini, gak kesepian terus. (Sapa saja yang datang ngunjungi oma?). Ya anakku ama puthuku nik.. kalo datang bawa makanan gitu, tapi ya dimakan rame-rame ama oma-oma yang lain juga, susternya juga ikut makan. Buat apa sih bawa-bawa makanan, percuma itu. Gak buat hatiku seneng kalo cuma makanan aja.” (Oma X, penghuni panti asuhan Bhakti Luhur)
Sindrom sarang kosong atau yang biasa disebut emptynest syndrome adalah sebuah periode dimana orang tua menghadapi penyesuaian baru karena ketidakseimbangan akibat anak (Santrock, 2003).
Christine Webber (2005) mengartikan emptynest syndrome sebagai kondisi emosional atau psikologis seorang berupa perasaan tertekan, kesedihan dan atau duka cita mendalam yang dapat mempengaruhi seorang wanita setelah anak-anak mereka menginjak usia dewasa dan meninggalkan rumah karena melanjutkan studi lebih tinggi atau karena perkawinan.
1. Ditinggal anak menempuh studi di tempat yang jauh dari rumah (luar kota luar pulau, luar negeri).
2. Mendapatkan pekerjaan di tempat yang jauh dari rumah (luar kota, luar pulau, luar negri).
3. Anak sudah menikah dan harus pindah ke rumah sendiri.
4. Pengunduran diri dari pekerjaan
5. Mengalami menopause
6. Kematian pasangan
Karakteristik Penderita Emptynes
1. Individu tersebut individu yang rentan terhadap stress dan menganggap perubahan sebagai sumber stress
2. Individu tersebut kurang memiliki minat sosial
3. Individu tersebut tidak bekerja
4. Individu tersebut cenderung berorientasi pada anak, dirinya lebih puas merawat anak daripada dengan hubungan pernikahan yang dimilikinya bersama pasangan
5. Individu tersebut termasuk orang tua yang sangat mengkhawatirkan anaknya, dan mencemaskan bahwa anaknya masih terlalu ‘kecil’ dan belum siap untuk menjadi ‘dewasa’.
Tanda dan Gejala Emptyness
Saltz (2008) menjelaskan bahwa sindrom sarang kosong dibuktikan dengan adanya kesulitan dalam menghadapi perubahan, yang mana dapat dilihat dari gejala yang muncul, yaitu : sedih yang berlebihan, takut akan peran dalam kehidupan sekarang, adanya aturan utama dalam kegiatan setiap hari, bagaimana memandang diri sendiri, dan bagaimana fungsi perkawinan yang sedang dijalan.
Tanda dan gejala sindrom sarang kosong menurut Dewi (2007) yaitu:
a. Meneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu, bila teringat anaknya.
b. Sering termenung menatap tempat tidur yang kosong.
c. Menaruh pakaian anaknya di bawah bantalnya.
d. Diam-diam menciumi pakaian putra atau putrinya.
Keadaan ini dianggap normal, bila berlangsung hanya satu minggu setelah kepergian anaknya, tetapi bila keadaan ini berlangsung lama maka disebut sindrom sarang kosong (Dewi, 2007).
Upaya Pencegahan dan Penanggulangan
1. Membuat perencanaan awal
2. Mengerti akan pasangan
3. Buat daftar tentang mimpi dan cita-cita
4. Menghindari perubahan yang terlalu besar
5. Berbagi dengan orang lain yang mengalami hal yang sama
6. Persiapkan diri anak
Menurut Witmer (2007) terdapat enam cara mencegah dan menanggulangi sindrom sarang kosong antara lain :
a. Lakukan sesuatu yang bermanfaat
b. Ambil suatu perjalanan, dan lakukan bulan madu bersama pasangan
c. Memanfaatkan waktu luang
d. Membuat paket kegiatan kepedulian sosial
e. Beri selamat pada diri sendiri
f. Dapatkan dukungan atau cari dukungan dari keluarga yang lain